Saturday, March 10, 2012

Bolbar

Kalau nobar kamu tahu kan? Artinya Nonton bareng. Kalau bolbar? Nah, bolbar artinya bolos bareng. Ini cerita pengalaman kami bolos bareng yang tak terlupakan.

Apadelaers tiba di Sierra pukul 19, langsung menuju tempat yang kami pesan seminggu sebelumnya, letaknya di teras bukan di balkon walaupun cuaca malam ini cerah sekali. Kami dipilihkan di teras mungkin karena usia kami sudah separuh abad, kalau di balkon terlalu dingin dan berangin, sampai di rumah harus kerokan.


2 tahun lalu kami ke sini bersama Smandelers 81, tata interiornya kini sedikit berbeda, live music sedikit lebih lengkap, penyanyinya juga lebih cantik, mungkin mereka antusias menyambut Nursyamsi yang genit.

Steak ala Sierra menjadi pesanan yang dominan, aku katakan kepada waiter, “Mas, saya well-done ya!”.
Willem yang duduk disampingku berpesan kepada si waiter yang sama, “Mas, kalau dia well-done, kalau saya Wellem”. Apadela banget!.

WWW: Well-done, Wellem, Widjarko

Bajaj datang dengan istrinya yang membawa cem-ceman, kini cerita dan dosa lama semakin terkuak.

Bolbar dijalani setelah kami selesai menyaksikan  pertunjukan di planetarium untuk lebih memperdalam pegetahuan kami tentang Geografi, kami semua nggak kembali ke sekolah, kalau tujuannya ke rumah Zanuba di Setiabudi itu atas saran Bajaj yang lagi naksir Zanuba.

Pulang dari rumah Zanuba banyak yang nyasar soalnya pengetahuan Geografi kami cuma sebatas Bukitduri, dikasih jauhan dikit pada nyasar deh.

Willem Teddy Usmany Ibu2 dibawa komando Oom Omen14 March at 10:30 ·

Ada juga yang nggak membolos ke rumah Zanuba, Purnomo namanya, dia bolos untuk menjaga toko kecil di rumahnya. Sayangnya sebelum pulang mampir dulu ke perpustakaan dan kepergok Mak Uwok yang mengajar kelas kami hari itu, jadilah Purnomo berduaan dengan Mak uwok di kelas. Mak Uwok pasti marah besar dilecehkan seperti itu dan mengadukan hal ini kepada bapak Sachroni, wali kelas kami.

Keesokan hari kami tidak boleh istirahat pertama karena wali kelas ingin bicara. Kini pak Sachroni sudah di hadapan. Setelah membalas ucapan selamat pagi, beliau langsung memuntahkan amunisinya. Kalau kamu berpikir pak Sachroni marah kepada kami, kamu salah besar!. Beliau marah kepada Purnomo yang dikira tidak membolos. Hah ....??? Pada mangap deh ...!!!

Kami semua mati-matian menjelaskan kejadiannya, bahwa Purnomo juga membolos hanya nasib sial yang membuat dia kepergok Mak Uwok, eh kami nggak mungkin bilang Mak Uwok deng, kami bilangnya ibu Anifah.
Ketua Dewan Pembina Apadela, Bapak Sachroni, kedua dari kiri

Wali kelas sungguh bangga kepada kami, 2 IPA 8, Apadela yang kompak dan berpesan agar kami selalu tetap kompak termasuk dalam hal membolos. Pesan itu bukan berarti bolbar lagi di kemudian hari. Terima kasih pesannya pak Sachroni, yang membuat kami , Apadelaers, tetap kompak hingga kini.

Jujur aja waktu itu aku takut banget kalau pak Sachroni mencari siapa diantara kami yang harus bertanggung-jawab. Kalau yang paling gede, aku yang kena. Kalau yang paling putih, aku juga yang kena. Kalau yang paling ganteng, itu juga lagi-lagi aku yang kena.

Vespaku


Widjanarko Budi '81

Ketika emak-emak Apadela belanja tahu susu Lembang ditemani Aria, kami yang babe-babe menunggu sambil ngupi atawa minum bajigur. Azwardi masih menemani sebelum kembali ke Jakarta menyetir mobil sendiri.

Azwardi pulang ke Jakarta karena ada undangan resepsi malam hari, dia tanpa membawa oleh-oleh Bandung soalnya waktu berangkat dia pamit hanya untuk beli rokok. Azwardi nggak berbohong karena memang dia ke Bandung untuk membeli rokok.

Ketika aku diminta untuk menceritakan pengalaman di Apadela, 2 IPA 8, ini kesempatanku untuk menceritakan kehebatan vespa kesayanganku.
Widjanarko Budi, paling kiri

Si vespa selalu setia menemaniku pergi dan pulang sekolah, walaupun bukan vespa keluaran tahun terbaru namun vespaku selalu tokcer.

Kejadian 32 tahun lalu kira-kira begini. Pagi itu selesai mandi dan memakai seragam aku menghampiri si vespa, aku lap sedikit, nggak perlu bersih-bersih, percuma juga nggak ada yang naksir aku. Aku putar kunci kontak, dan mengengkolnya pelan, “brem …”, setelah itu aku gas-gas dikit, “brem … bremm … bremmm..”. Percaya kan vespaku tokcer banget.


Dengan vespa sebentar saja aku sudah sampai di sekolah, sekarang aku ikut-ikutan belajar, sambil menunggu bel pulang sekolah yang barusan berbunyi untuk selanjutnya menjumpai si vespa lagi.

Sekali lagi ya aku pemerkan kehebatan vespaku yang nggak pernah mogok, apalagi minggu lalu aku tune-up sekaligus mengganti busi baru, bensinnya juga penuh.

Nih, lihat nih, perhatikan baik-baik.
“Kok, nggak bunyi Bud !”.
Mungkin barusan aku ngengkolnya nggak kaceng, aku coba sekali lagi ya.
“Kok, tetep nggak nyala Bud !”
Mungkin gara-gara spionnya kotor, aku bersihin dulu ya, nah sekarang pasti hidup.
“Kok, tetep aja nggak bunyi Bud !”.

Aku engkol lagi, sekali, dua kali, sepuluh kali …. 15 menit kemudian ..., 1 jam kemudian ..., 5 jam kemudian …. 4 hari kemudian ..., 10 hari kemudian …. tetap aja nggak mau nyala, akupun mulai kesal, “Omennnnnnnnn …. lebay banget sih ngedit ceritanya !!!!”.
Temi Jidad Apadela  28/04/81, dakika: Yusuf Rizal, Budi masih pakai jambul, Brebet, Ibenk, Ari pacarnya Andrina, Dicky
Aku terpaksa berjalan di samping si vespa menuju bengkel terdekat di Bukitduri Tanjakan, malu juga diledekin kawan-kawan nenteng vespa mogok. Berat juga, apalagi jalannya menanjak. Untung tenagaku cukup kuat untuk menuntunnya ke bengkel.
Sang montir mulai bertanya, “Bensinnya ada nggak?”.
“Besin sih pul-teng”.

Si montir membuka kabel busi, diambilnya obeng kecil untuk mencungkil sesuatu. Akupun tertawa kecut, “Dasar Apadela isinya kunyuk semua!!!”, tetapi aku senang, Apadela telah memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Nggak apa-apa motorku mogok yang penting hidup Apadela!.

Pantesan aja si vespa nggak bisa hidup, soalnya diantara kabel dan businya disempal plastik.

Kenapa Namanya Bajaj?


Kami sampai di Sapulidi, semua makanan yang kami pesan, 13 macam, sudah disajikan. Azwardi datang, menyusul langsung dari Jakarta sendirian, dia agak menyesal nggak ikutan trekking.
Azwardi, Budi, Deden, Ady, Willem, O, Syamsi, Aria

Edi Bajaj, yang bernama asli Edi Wiharnoko, belum datang menjadi bahan pembicaraan. Kawan kami yang satu ini biasanya senang membuka dua kacing atas bajunya, sehingga bulu dadanya yang lebat dan hitam bisa terlihat dengan jelas. Kebiasaan itu sudah nggak bisa dilakukan sekarang soalnya bulu dadanya sudah putih beruban.
Apadela saat perpisahan kelas 3, Rio, Astuti, Bajaj, Deden, Willem, Umul

Aku penasaran mengapa dinamakan Bajaj.
“Yang tahu Azwardi tuh!”, Budi menjelaskan.
“Tapi jangan bilang-bilang, nanti Bajaj marah sama gue”, jawab Azwardi.
“Hati-hati Az, ada Chormen nanti dimasukin blog”, kawan-kawan mengingatkan.
“Kalau dimasukin blog sih nggak apa-apa”, jawab Azwardi lagi.
Nia, Tatik, Uun, Ratih, Yeni, Andrina

Azwardi asyik bersemangat bercerita, aku asyik menjamah makanan, kali ini giliran ikan asin, sedap, sekalian soto Bandungnya ah.

Alkisah Azwardi yang selalu berkawan dengan Bajaj, saat di kelas sebelumnya, 1 IPA 8. Seperti biasa mereka suka nongrong di depan sekolah, eh, mereka melihat ada tukang bajaj lagi mangkal, wajahnya mirip Edi, maka dinobatkanlah Bajaj sebagai nama ngetop Edi.

Ternyata nih, Smandel sebagai sekolah terbaik di Indonesia ada juga muridnya yang kayak tukang bajaj.

Rugby


Tanpa terasa 2,8 km jalanan menanjak telah kami lalui, sekarang kami sudah di bibir hutan pinus bersama serombongan anak-anak, calon pengganti Lionel Messi, tengah pemanasan untuk bermain sepak bola dengan seorang pelatih muda calon pengganti Jose Mourinho, the special one.


“Jadi inget main rugby, seru banget!, elo masih inget nggak?”, semua lelaki Apadela bilang begitu. Siapa sih yang bakalan lupa peristiwa 32 tahun lalu, peristiwa yang selalu dikenang seumur hidup kami. Itu juga kalau kami belum pikun.

Satu jam pelajaran Olah Raga telah kami habis di aula, lantai 2 di atas laboratorium, berlatih senam bersama bapak Ugi, satu jam berikutnya kami diberi kebebasan memilih. Anak perempuan mengambil lapangan volley, anak laki main basket. Karena lelakinya lebih dari 20 orang nggak mungkin dong main basket bareng, dibuat 2 kelompok, sepuluh orang jagoan main duluan satu babak.

Sisanya kawan yang kurang pinter main basket, omongan mereka nyelekit banget, “Palingan nggak gantian, kita duduk terus nih sampe bel istirahat”. Mendengar selentingan seperti itu, aku nggak bisa pura-pura budek, “Ya udah semuanya masuk lapangan kita bikin 2 kelompok, kita main rugby”.

Dari Buku 50 Tahun Smandel
Aku suit melawan Arian, aku menang. Gampang banget mengalahkan Aria, dia kalau suit yang keluar selalu telunjuk duluan, “Ayo suit, yang menang ikut gue, yang kalah ikut Aria”. Deden suit melawan Iriana, hasilnya Iriana ikut aku.

“Mainnya gimana Men?”, pertanyaan yang lumrah, maklum belum pernah dimainkan di Smandel selama ini.
“Gawangnya di antara 2 ring basket, kita masukin aja ke sana”, zaman dulu tiang ring basket nggak cuma satu.
“Oke, mulai deh”, kawan-kawan mulai bersemangat.
“Eh, tunggu dulu!, ada 1 aturan lagi!, yang kebobolan duluan harus buka baju sampai bel istirahat”, aku paling demen bikin aturan yang aneh-aneh. Mereka pada tertawa.

Apadela vs Apadela, 2 IPA 8 vs 1 IPA 2

Bola basket dilambungkan ke udara, tanda dimulainya permainan, Iriana membobol gawang lawan. Dengan sportif tim lawan membuka kaos olah raga, kini mereka bertelanjang dada, kerempeng semua.

Permainan dimulai lagi, makin lama semakin seru, saling tarik-tarikan, dorong-dorongan, injak-injakan, piting-pitingan, dan teriak-teriakan. Semuanya tertawa, nggak ada yang (boleh) marah, ha ha ha …

Lima menit sebelum bel datang usulan, “Men, udahan dong, 5 menit lagi bel, nggak enak nih nanti dilihatin orang-orang”, karena sudah banyak kelas lain yang nonton di pinggir lapangan.
“Eit …., nggak bisa! Perjanjiannya sampe bel istirahat”.

Bel istirahatpun berbunyi, kawan yang bertelanjang dada memungut kaos olah raga mereka di pingir lapangan berlarian dan berteriak menuju kelas di lantai 2, gaduh sekali. Sementara pak Ugi geleng-geleng kepala di kejauhan.


Seminggu kemudian sebelum olah raga pak Ugi memberi briefing, “Belum pernah saya melihat kelas sekompak kalian, kekompakan modalnya kemenangan dalam pertandingan, saya yakin kalian selalu menang dalam pertandingan, tapi olah raganya jangan yang kayak kemarin, apaan tuh … olah raga nggak karuan kayak gitu!”, disambut dengan derai-tawa kami.

Pernyataan pak Ugi memang terbukti, kami menjadi juara umum class meeting, hebat nggak tuh!.

Aku senyum-senyum sendiri kalau membayangkan peristiwa itu, namun ada sedikit penyesalan, mengapa waktu itu aku nggak bikin aturan buka bajunya sampai bel pulang, bisa-bisa mereka belajar sambil telanjang!.

Ketika Nyawa di Ujung Akar


Menuju bibir hutan pinus kami berjalan perlahan, beberapa kawan wajahnya memutih bukan karena krim pemutih tetapi karena mukanya pucat kekurangan oksigen, cerita pendakian tempo dulu bersama Apadela mencuat.
Willem Teddy Usmany Maju terus Apadela...!!

Seperti biasa ketika turun gunung aku bersama Aria selalu bersama, kali ini kami menyapu Pipin dan Ita. Nggak seperti biasa Deden turut menemani. Turun gunung sambil makan coklat dan cemilan bawaan Pipin dan Ita enak banget sehingga mengundang Deden berkomentar, “Pantesan elo sama Aria kalau turun belakangan melulu! Makanannya enak-enak”

Selalu kami mencoba jalan yang belum pernah dilalui, “Simpangan pertama belok kanan, belokannya nggak jelas karena jalannya baru”, pesan teman yang jalan di depan.

Kini kami berada mungkin di simpangan yang dimaksud.
“Bukan jalannya!” kata salah seorang dari kami.
“Tadi Sulis bilang jalannya nggak jelas!” Aria berargumen, “Ya udah kita coba! Gue sama Deden turun. Men, elo jagain Pipin sama Ita. Belatinya elo pegang, kali-kali ada apa-apa”, seraya Aria memberikan belati stainless steel buatan Jerman kalau gagangnya diputar 180 derajat bisa berubah jadi pisau. Keren banget!.

Aria dan Deden menuruni “jalan baru” yang cukup terjal, Aria sedikit berpesan “Kalau 10 menit gue nggak balik lagi artinya ini jalan bener! Nanti elo nyusul!”

Tak berapa lama terdengar teriakan Aria dari bawah, “Men, jangan turun! Disini jurang bukan jalan! Jalan yang tadi gue turunin nggak ketemu, elo dimana?”

Pipin, Ita da aku bergantian memberikan petunjuk posisi kami, Aria dan Deden berusaha kembali berpedoman suara kami.

“Tinggal dikit lagi!”, suara Aria berkumandang, “Men, gue nggak bisa naik lagi karena nggak ada yang bisa dibuat pegangan, turun juga nggak bisa karena dibawah gue jurang. Tolongin gue! Gue udah kecapean”.

“Lari Men, kejar yang turun duluan”, Pipin meminta dengan suara panik.
“Percuma Pin, mereka lari. Kalaupun terkejar naiknya lagi lama”

Dalam kondisi seperti kuncinya Jangan Panik!.  Aku melihat sekeliling. Jaket ada 3 kalau dibuat tali nggak cukup. Tenang! Pikir lagi!.

Ini dia! Kulihat seutas akar muncul ke permukaan tanah mungkin karena erosi, akar yang panjangm melingkar-lingkar sebelum masuk kembali ke dalam tanah. Aku tarik kira-kira panjangnya 5 meter, aku cabut ujungnya, tidak kuat. Untung ada belati bagus buatan Jerman. Memotong ujungnya sulit sekali karena sang belati ternyata tumpul dan akarnya alot.
Berdiri dakika: Agus, Erico, Deden, Willem, Darius, Pipin, Umbul, ?
duduk dan nungging: Ade, Aria, Jidong, Sulis, Azwardi, Pacet, O, Gaok, Dedi

“Sebentar, Chormen lagi motong akar!”, suara Pipin menenangkan Aria dan Deden.
“Buruan Men, pohon kecil yang gue pegang takut nggak tahan lagi”, Aria melaporkan.
“Men, gue tau elo suka becanda, tapi jangan gue udah mau mati elo juga masih becanda”, pinta Deden memelas.
“Belatinya tumpul!”, reportase Pipin akurat.
“Jangan becanda Men, buruan!”, kini giliran suara Aria.
“Men, gue udah nggak tahan lagi! Di bawa gue jurang”, Deden masih memelas.

Setelah 3 menit akhirnya akarpun putus, aku tarik untuk menguji kekuataan sebelum kulemparkan ke jurang. Akar berpegang erat pada pangkalnya.

“Den, elo duluan”, terdengar suara dari bawa, tak lama kulihat wajah Deden yang kelelahan.
“Kalau telat dikit gue udah mati! Orang mau mati elo masih becanda”, Deden kesal.
Giliran Aria naik, wajahnya sama kelelahannya dengan Deden, “Men, kalau kejadian begini lagi elo jangan pake becanda”.

“Belatinya tumpul, elo coba aja”, kataku sambil menyerahkan kepada mereka untuk mencoba memotong akar.
“Tumpul kok”, Deden bilang ke Aria.
“Ini belati tongkrongannya keren nggak taunya tumpul”, komentar Aria setelah mencoba.

“Men, kalau nggak ada elo, gue sama Aria udah mati! Terima kasih ya!”, Deden.
Kamipun melalnjutkan perjalanan, pasti sudah tertinggal jauh dengan yang di depan.
Tak berapa lama Deden mengoreksi kalimat syiriknya, “Men, gue sama Aria masih hidup bukan gara-gara ditolong sama elo, tapi karena Allah yang menyelamatkan”.

Karena kuasa Sang Maha Pencipta, kami bisa tetap bersahabat hingga kini.

Diperjalanan kami sepakat untuk merahasiakan kejadian tadi, khawatir kisah ini diketahui pihak sekolah, sehingga larangan mendaki gunung semakin menjadi.

Setelah 30 tahun lebih, rahasia aku ungkapkan melalui blog, untuk itu maafkan aku ya Aria, Deden,Pipin dan Ita kalau rahasia kini terkuak.

Sebetulnya jaket, baju dan celana kami bisa disambung menjadi seutas tali, tapi masa sih aku meminta Pipin dan Ita menanggalkan pakaian mereka. Sebetulnya nggak apa juga, kan dalam keadaan darurat!.

Arti Sebuah Nama

Kisah nilai ujian Nursyamsi Kurnia '81 dinego wali kelas

Walaupun sudah lebih 30 tahun berpisah suasana gila Apadela, 2 IPA 8, masih tersisa di kepala, makanya Andrina mengadakan acara Temu Jidat Apadela: Kongkow Bandung. Waktu Andrina bertanya, “Pesertanya disuruh bayar berapa?”.
Aku jawab aja, “Gratis”.
“Nggak ah!, harus bayar!”.
“Ya udah, bayar gocap”.

Rio menepati janjinya datang ke Gedung YTKI sebelum kami berangkat, penampilannya masih necis seperti 30 tahun lalu, zaman di SMA baju seragamnya nggak pernah keluar dari celana, sebentar-bentar dirapikan. Dia memakai topi dan nggak pernah dilepas sampai kami berangkat, Ady si anak mama berkomentar, “Jangan-jangan udah botak”.

Bersama Nursyasi, Rio, Willem, Budi, Uun dan Tatik

Nursyamsi datang dengan membawa payung besar warna-warni dan ransel berisi jas hujan, “Kata panitia disuruh bawa payung dan jas ujan, ya aku bawalah!”, dan dia satu-satunya peserta yang membawa perlengkapan itu, panitianya aja nggak.

Bis baru masuk gigi 1, suasana gila dimulai, buka-buka rahasia, ketika Syamsi membaca daftar nama dan alamat 2 IPA 8, dia bilang, “Men, kalau Syamsi itu nama aku kelas 3, waktu kelas 1 dan 2 namaku Nursyamsi, di ijazah namaku juga Nursyamsi”.
“Kok, elo ganti-ganti nama.???”.


Nursyamsi mulai bercerita. Kalau dia sering bilang lupa, harap maklum aja ingatannya nggak jauh. Coba bayangkan kelas berapa aja dia lupa, wali kelasnya siapa dia lupa, pacarnya di SMA aja dia lupa, malahan dia pernah bertanya, “Men, dulu yang aku pacarin siapa ya?”. Kelewatan!. Jangan-jangan dia bukan anak SMA 8.


Saat di kelas 3, dia sekelas dengan Sugiarto Jaya, orang paling pinter di angkatan 81. Nah, dengan menggunakan nama Syamsi Kurnia, daftar hadir Nursyamsi persis di bawah nama Sugiarto. Otomatis waktu ujian dia berdekatan dengan Sugiarto.
“Logika aku dari dulu juga udah jalan!”, Nursyamsi melanjutkan.
Kamipun tertawa melihat gaya bicaranya yang lucu.

Keberuntungan berpihak kepadanya, saat ujian akhir posisi bangku Nursyamsi persis di belakang Sugiarto, mantap!.


    • Willem Teddy Usmany Ayo Apadela kita naik2 kepuncak gunung.
      Msh kuat sprti 30 th lalu. Hehehe....!!
Seminggu setelah ujian berakhir dia dipanggil wali kelas, karena hasil ujiannya sangat mencengangkan, nilainya fantastis.
“Syamsi melihat hasil ujian, kamu punya 2 pilihan”, kata wali kelas, “Ujian kamu diulang atau nilai ujian kamu dikurangi 2 semuanya”.

Dijatuhi 2 pilihan seperti itu Nursyamsi tetap bersikap tenang, jawaban kepada wali kelas enteng aja, “Jangan dong pak ujiannya diulang, kalau nilai di ijazah bapak atur-atur aja deh!, yang penting saya lulus”.

Komentar Himawan:
Men, waktu nilai ujian diumumkan Syamsi masih tetep tersenyum puas walau masing-masing pelajaran udah dikurangin 2, masalahnya masih rata-rata 8, masih dapet profit 30% ... He he he lumayan.

Kongkow Bandung

Buat photographer sebuah gambar bisa berbicara lebih dari sejuta kata, aku coba deh kalau begitu. Kali ini aku tidak menulis tetapi menggabungkan gambar menjadi cerita ditemani sahabatku Phil Collins yang melantunkan True Colors.

Terus terang bukan aku yang buat tetapi Karra si sulung, dia pernah menawarkan untuk membuatkan video clip. Empat hari setelah Kongkow Bandung tangannya menengadah, aku menangkap maksudnya, aku serahkan flash disc dari Aria berupa 172 foto.

Nggak semua foto bisa dimuat, aku pilihkan beberapa, komentarnya kepada mamanya,” Ma, yang nggak ada papanya fotonya dicoret”. Sengaja aku tulis kalimat itu untuk sekedar mengingatkan kalau motret ngajak-ngajak.

Soul dari video clip ini sederhana aja, “Smandel nan kompak”. Enjoy the show, keren kok!



Friday, January 27, 2012

Assalamualaikum Pak Haji


Aku rajin banget mengumpulkan alamat dan nomor telpon, hasilnya banyak kawan angkatanku melakukan reuni kelas. Pernah aku ditelpon Manca yang kelasnya mau reunian di rumah Erlinawati di Bogor.
“Men, dateng dong reunian di Bogor”.
“Gue kan bukan kelas 2 IPA 6”.
“Tapi kan elo anggota kehormatan 2 IPA 6”.
Sayang aku nggak bisa ikut gara-gara sakit typus, penyakitnya orang miskin.

Lain halnya dengan urusan foto lama, harapanku hampir pupus. Baru akhir tahun lalu ketika aku mampir di rumah masa kecilku, tiba-tiba kakakku Lela bilang, “Men, itu ada 3 album SMA aku tarok di pojokan ruang tivi”.
Aku buru-buru melihatnya. Satu album berisi naik gunung dan kemping bersama Apadela (2 IPA 8 ’81 dan 1 IPA 8 ’82), satu album reuni dan close-up kawan-kawan 2 IPA 8 dan satu album campuran. Sudah tentu aku seneng banget.

Aku lapor kepada kawanku, Apadelaers, mereka pada mau melihat. Ditetapkanlah tanggal 27 Januari 2012 pakai upacara makan-makan segala. Sungguh sayang bertepatan dengan demo buruh di Cikarang, jadi banyak yang terjebak macet, alasan yang bisa diterima. Aku sendiri meminta anakku nggak langsung pulang, kasihan mereka kalau terjebak macet, bisa BeTe, biar mereka pulang agak maleman bareng bapaknya.

Seru banget melihat foto lama bareng-bareng.
“Men, yang ini Benny siapa namanya, di kelas kita kan ada 2 Benny”, Uun bertanya
“Benny Respati”, jawabku sekenanya.
“Bukan Benny Respati. Kalau Benny Respati mah gue inget. Benny yang satunya lagi”.
Kami semua mendekat.
“Yang ini nih!”, Uun melanjutkan,sementara aku senyum-senyum kecil.
“Itu mah gue”, Benny Krisyanto menjawab.
“Oh iya elo. Nama elo siapa? Maksud gue Benny siapa?”, tanda-tanda uzur telah tiba.

Lain Uun lain pula Syamsi.
Syamsi telpon setelah aku menjemput Karris, my son, di jalan Cut Mutia, jadi ingat sop buntut. Nada suaranya sopan banget, “Assalamualaikum pak haji”.
“Waalaikum salam, Syamsi elo nggak kesana?”
“Justru itu pak haji, aku telpon. Aku nggak tahu ancer-ancernya”.
Akhirnya Syamsi sampai juga setelah mendapatkan arahan dariku. Ada Syamsi pasti ribut. Dia termasuk jenis manusia langka, punya hape enam biji tetapi tak satupun namaku di phone book-nya.
Tanpa merasa berdosa dia bilang. “Men, minta nomor hapenya dong!”.
“Lah, tadi kan elo nelpon gue”.
“Nggak ah, perasaan nggak pernah”.
“Tadi kan elo nanyain tempat ini”.
“Ooohh …., yang aku panggil pak haji ya?”.
“Tumben elo tadi manggil gue pak haji”.
“Jadi Omen ya yang aku panggil pak haji, aku pikir yang tadi aku telpon ustad Rory”.