Kami pernah mendaki bersama anak manja yang dikibulin kalau naik gunung itu enak, nyatanya tidak sesuai dengan harapan. Sejak dari Kandang Badak sampai puncak Gede Pipin nggak berhenti membujuk si anak manja berjenis kelamin perempuan yang tiada henti menangis.
Namun ketika kaki menginjakan puncak tangis berubah menjadi keceriaan, terlebih di alun-alun Surya Kencana tempat Edelweis bermekaran.
Sang tangis muncul kembali selepas meninggalkan Surya Kencana sampai keluar hutan, kegelisahan bertambah karena kami turun seolah di negeri entah berantah. Suara orang mengaji memberi semangat, mesjid pasti, sampai ke sumber ternyata 2 pendaki yang juga kesasar, diperparah dengan anak baru yang mogok jalan.
Kami terpaksa membuka 2 bivak sementara 2 pendaki kesasar dan seorang rekan mencari bantuan. Setan alas apa yang merasuki sampai di perumahan penduduk 2 pendaki langsung pulang dan rekan kami asyik tidur di ranjang.
Di tepi hutan kami kehabisan makanan, minuman, batere, jadilah malam itu kami kelaparan, kehausan dan kelaparan.
Dinginnya malam semakin mencekam kala longlongan srigala hutan terdengar garang, cuacapun tak mau kompromi hujan deras melengkapi udara dingin yang membekukan kaki, ketika kutekuk lurus sendiri. Tidak tidur kami pasti, sementara si anak manja tidur nyenyak sendiri.
Saat aku kehausan Boni menyodorkan verplesnya, kurasakan kesegaran air hujan yang ditampungnya.
Bada subuh serombongan penduduk datang mencari bersama temanku yang semalaman tidur di rumah penduduk. Ternyata jarak ke perumahan penduduk dekat sekali. Jadilah hari Senin kami semua bolos sehari.
Umpatan kapoknya naik gunung tidak henti, anehnya semakin mengumpat kecintaan kami mendaki gunung semakin menjadi.
Anak IPA Delapan kalau sendirian maksudnya 2 IPA 8 angkatan 81 atau 1 IPA 8 angkatan 82, kelas yang paling badung dan nggak pernah berhenti ketawa. Kalau mereka jalan bareng jadilah konsorsium yang hampir tiap akhir pekan naik gunung
Thursday, December 18, 2008
Thursday, December 4, 2008
Nyaris lewat di Gede
by Darius “the Kill” Purwana ’82
Chormen……
Tulisan ini jadi kado ulang tahun loe…. n sebenernya gue kagak bisa nulis-nulis seperti ini apalagi mem-flash back memory gue yang dulu-dulu tapi karena di Apadela, banyak kenangan manis dan pahit yang gue alamin jd gue coba-coba deh nulis…..
Pertengahan tahun 1980, entah apa garis tanganku aku memperoleh kelas 1 IPA 8 yang lebih banyak diisi oleh anak yang sering nongrong daripada belajar. Selain suka bermain bola disini aku mempunyai kegemaran baru bersama teman sekelas, Sulis, Beny gaok, Hendra pacet, Dedi pastur, Daud, Jidong, dll, yaitu naik gunung dan camping.
Chormen……
Tulisan ini jadi kado ulang tahun loe…. n sebenernya gue kagak bisa nulis-nulis seperti ini apalagi mem-flash back memory gue yang dulu-dulu tapi karena di Apadela, banyak kenangan manis dan pahit yang gue alamin jd gue coba-coba deh nulis…..
Pertengahan tahun 1980, entah apa garis tanganku aku memperoleh kelas 1 IPA 8 yang lebih banyak diisi oleh anak yang sering nongrong daripada belajar. Selain suka bermain bola disini aku mempunyai kegemaran baru bersama teman sekelas, Sulis, Beny gaok, Hendra pacet, Dedi pastur, Daud, Jidong, dll, yaitu naik gunung dan camping.
Hampir setiap malam minggu kami mendaki gunung, kalau bukan Gede ya Pangrango, supaya tidak bosan berbagai tempat naik dan turun acap dicoba. Berbeda dengan anak kelas 2 IPA 8 yang selalu naik bis uniknya kami selalu menumpak truk dari lampu merah Cililitan, jadi sebelum naik gunung saja sudah penuh dengan perjuangan tapi disitulah suka dan dukanya, sebab tidak semua truk bersedia berhenti untuk kami tumpangi, sabar aja…. Itu kuncinya.
Sabtu siang sehabis pulang sekolah di warung Ete, di belakang sekolah, Gaok mengajak kami merayakan ulang tahunnya di puncak Gede, serta-merta kami menyatakan setuju.
Cililitan sekitar jam 7 an malam, teman yang kusebutkan di atas bersama sahibul bayit, sudah siap ngelivten, bahasa Londo yang diterjemahkan bebas nebeng, walaupun yang ditebengi hanyalah truk…….
Jam 10an kami sudah bertemu dengan tempat bermain kami Cibodas, membenahi perlengkapan dari mulai jaket, ransel, senter dan yang paling utama adalah makanan yang menjadi obat segala rupa, obat lapar yaaah pasti, obat ngantuk .. kalau ngantuk dalam perjalanan yaah makan.
Jam 11 teng mulai mendaki, seperti biasa berdoa dulu untuk keselamatan bersama, meskipun kami punya hobi bercanda tapi kalau soal doa .. yaaa khusuk juga sih. Gaok paling depan dan posisiku di tengah seperti biasa, mulailah kami bernyanyi untuk menghilangkan rasa kantuk yang mulai menyerang, dari lagu yang sedang populer sampai lagu anak-anak yang kalau direkam sih bisa habis tiga pita kaset…
Salah satu cara kami menghilangkan rasa kantuk dan lelah adalah bermain cela celaan, yang biasa menjadi pelengkap penderita adalah Hendra Pacet….. he he he kenapa dinamain Pacet karena emang bibirnya kayak lintah, seperti biasanya dia pasrah menerima kenyataan, kadang juga dia timpali. Cara lain adalah berhalusinasi tukang baso yang menunggu di puncak. Sesekali kami meminta yang di depan untuk melambatkan diri.
Jelang subuh sudah berada di puncak Gede, jaket kesayanganku adidas berwarna merah menemani mengusir dingin sambil mengurut kaki kami masing-masing. Matahari mulai membuka tabir malam mulailah terlihat wajah teman yang kelelahan. Gaok membuka ranselnya yang penuh makanan.
Kini perut kenyang, badan kedinginan, mata mengantuk, di atas ponco kamipun tidur bersama dengan ransel sebagai bantalnya. Tiba-tiba aku terbangun dan terkejut ketika kusadari aku sudah meluncur sekitar 3 meter dari tempat semula ke arah jurang diiringi derai tawa teman-teman, sepotong ranting menghentikan lajuku. Aku kembali ke atas dibantu mereka.
Rupanya aku tidur di tepi jurang, begitu mengantuknya sehingga tidak kuperhatikan. Kalau tidak ada ranting pohon itu mungkin aku sudah lewat, rasa deg degan terus bergema di dada, aku bersujud syukur masih diberi kesempatan oleh Allah SWT.
Jam 9 an turun gunung, dengan membawa edelweiss untuk koleksi yang sebetulnya dilarang. Perjalanan paling menyenangkan karena terus menurun, terkadang berlari, jatuh-bangun.. wah pokoknya seneng banget…
Tanpa terasa sudah sampai Cibodas untuk naik truk lagi, di Cililitan kami berpisah Gaok balik ke Tebet, Sulis ke Kayumanis, Pacet ke Klender, Pastur ke Pasar Minggu, Daud ke Manggarai … di perjalanan pulang aku merenungi kejadian subuh tadi, kalau nggak ada ranting… mungkin aku sudah LEWAT dan bukan aku yang menulis cerita ini.
Sabtu siang sehabis pulang sekolah di warung Ete, di belakang sekolah, Gaok mengajak kami merayakan ulang tahunnya di puncak Gede, serta-merta kami menyatakan setuju.
Cililitan sekitar jam 7 an malam, teman yang kusebutkan di atas bersama sahibul bayit, sudah siap ngelivten, bahasa Londo yang diterjemahkan bebas nebeng, walaupun yang ditebengi hanyalah truk…….
Jam 10an kami sudah bertemu dengan tempat bermain kami Cibodas, membenahi perlengkapan dari mulai jaket, ransel, senter dan yang paling utama adalah makanan yang menjadi obat segala rupa, obat lapar yaaah pasti, obat ngantuk .. kalau ngantuk dalam perjalanan yaah makan.
Jam 11 teng mulai mendaki, seperti biasa berdoa dulu untuk keselamatan bersama, meskipun kami punya hobi bercanda tapi kalau soal doa .. yaaa khusuk juga sih. Gaok paling depan dan posisiku di tengah seperti biasa, mulailah kami bernyanyi untuk menghilangkan rasa kantuk yang mulai menyerang, dari lagu yang sedang populer sampai lagu anak-anak yang kalau direkam sih bisa habis tiga pita kaset…
Salah satu cara kami menghilangkan rasa kantuk dan lelah adalah bermain cela celaan, yang biasa menjadi pelengkap penderita adalah Hendra Pacet….. he he he kenapa dinamain Pacet karena emang bibirnya kayak lintah, seperti biasanya dia pasrah menerima kenyataan, kadang juga dia timpali. Cara lain adalah berhalusinasi tukang baso yang menunggu di puncak. Sesekali kami meminta yang di depan untuk melambatkan diri.
Jelang subuh sudah berada di puncak Gede, jaket kesayanganku adidas berwarna merah menemani mengusir dingin sambil mengurut kaki kami masing-masing. Matahari mulai membuka tabir malam mulailah terlihat wajah teman yang kelelahan. Gaok membuka ranselnya yang penuh makanan.
Kini perut kenyang, badan kedinginan, mata mengantuk, di atas ponco kamipun tidur bersama dengan ransel sebagai bantalnya. Tiba-tiba aku terbangun dan terkejut ketika kusadari aku sudah meluncur sekitar 3 meter dari tempat semula ke arah jurang diiringi derai tawa teman-teman, sepotong ranting menghentikan lajuku. Aku kembali ke atas dibantu mereka.
Rupanya aku tidur di tepi jurang, begitu mengantuknya sehingga tidak kuperhatikan. Kalau tidak ada ranting pohon itu mungkin aku sudah lewat, rasa deg degan terus bergema di dada, aku bersujud syukur masih diberi kesempatan oleh Allah SWT.
Jam 9 an turun gunung, dengan membawa edelweiss untuk koleksi yang sebetulnya dilarang. Perjalanan paling menyenangkan karena terus menurun, terkadang berlari, jatuh-bangun.. wah pokoknya seneng banget…
Tanpa terasa sudah sampai Cibodas untuk naik truk lagi, di Cililitan kami berpisah Gaok balik ke Tebet, Sulis ke Kayumanis, Pacet ke Klender, Pastur ke Pasar Minggu, Daud ke Manggarai … di perjalanan pulang aku merenungi kejadian subuh tadi, kalau nggak ada ranting… mungkin aku sudah LEWAT dan bukan aku yang menulis cerita ini.
Tuesday, December 2, 2008
Malaikatpun pasti bingung
Iriana Wiharja’81
Secara guratan tangan, entahlah garis yang mana di tanganku yang menjebloskan aku ke kelas yang dipenuhi anak badung, 2 IPA 8, kalau kami bercanda terkadang sampai kelewatan namun lebih sering kelewatan banget. Tapi aku bangga sebagai seorang Apadelaers.
Waktu study tour aku memilih Solo sebagai tujuan, kami menginap di hotel Al Amin milik keturunan Arab atau malah Arab beneran. Kedatangan kami di Al Amin disambut dengan bau dupa yang menyengat, kata si pemilik biar wangi padahal yang ada kami jadi mabok mungkin karena tidak terbiasa, untung guru pembimbing meminta pemilik untuk mematikan dupanya.
Rombongan baru saja tiba di Solo setelah semalaman naik kereta kelas ekonomi. Di hotel hanya sempat menaruh barang di kamar lantas lanjut lagi ke berkunjung ke pabrik batik, Kota Gede, dll. Hari pertama pokoknya capek banget.
Hotel tempat kami menginap ini khusus buat peserta study tour kaum lelaki, nah kelas kami memperoleh jatah 2 kamar. Walau jauh dari Jakarta adat istiadat kami tetap dijunjung alias badungnya nggak bisa diumpetin.
Secara guratan tangan, entahlah garis yang mana di tanganku yang menjebloskan aku ke kelas yang dipenuhi anak badung, 2 IPA 8, kalau kami bercanda terkadang sampai kelewatan namun lebih sering kelewatan banget. Tapi aku bangga sebagai seorang Apadelaers.
Waktu study tour aku memilih Solo sebagai tujuan, kami menginap di hotel Al Amin milik keturunan Arab atau malah Arab beneran. Kedatangan kami di Al Amin disambut dengan bau dupa yang menyengat, kata si pemilik biar wangi padahal yang ada kami jadi mabok mungkin karena tidak terbiasa, untung guru pembimbing meminta pemilik untuk mematikan dupanya.
Rombongan baru saja tiba di Solo setelah semalaman naik kereta kelas ekonomi. Di hotel hanya sempat menaruh barang di kamar lantas lanjut lagi ke berkunjung ke pabrik batik, Kota Gede, dll. Hari pertama pokoknya capek banget.
Hotel tempat kami menginap ini khusus buat peserta study tour kaum lelaki, nah kelas kami memperoleh jatah 2 kamar. Walau jauh dari Jakarta adat istiadat kami tetap dijunjung alias badungnya nggak bisa diumpetin.
Bajaj, Iwan, Azwardi, Syamsi, Wijanarko
Seperti biasa, sesuai pakem, lagi-lagi ketua kelas yang dikerjain. Kali ini saat Iwan shalat Azhar di kamar. Iwan memulai shalatnya, kawan-kawan memulai aksinya dengan menyetel musik dangdut dan berjoget di depan dia, mulai dari goyang patah-patah, goyang ngebor sampai kembang goyang dilakukan. yang joget ya joget yang shalat jalan terus. Nggak mempan!.
Berhenti sampai disitu? Bukan anak badung namanya.
Iwan dibedaki, wajahnya kini seperti buah kesemek atau pemain wayang orang, shalatnya berjalan terus maklum anak ustad.
Masih belum puas Iwan yang lagi shalatpun digotong oleh Edi Bajaj ke luar kamar. Shalatnya berhenti sampai disitu? Bukan anak ustad namanya.
Iwan tetap meneruskan shalatnya sambil berjalan kembali ke sejadahnya, untungnya kamar tidak dikunci kalau nggak dia shalat sambil mengetuk-ngetuk pintu.
Setan penggoda tampaknya sudah kehilangan ide, Iwan berhasil menunaikan shalat Azharnya saudara-saudara. Alhamdulillah.
Melihat kejadian ini malaikat penjaga pasti mau memberi bonus berapa untuk shalat seperti ini, sementara setan-setan tertawa kecil.
“Eh, kok jadi pada mingkem! Takut dibilang setan ya!”.
23 June 2009Azwardi Aziz
Men... gue gak inget itu siapa yang di samping gue... tapi kalo' gak salah temen kita yg jalannya berdua terus sama eddy kumis (bukan Bajaj)... gue lupa namanya...
01 July 2009Iriana Wihardja
Budi kali... yang suka bawa vespa kalo ke smandel.
Syamsi ga bisa diterima sandi negara karena gak tau nama asli kakeknya.
03 July 2009Ahmad Himawan
Makash Ir, jadi jelas nih siapa kalau setan itu ada 2 macam, ada setan Jin ada setan manusia he he he... Yang sebelah Azwardi, masih misterius.....siapa ya ?
Terus yang duduk sebelah Ade, itu siapa ya? Aq kah ? Istri dirumah komen itu gw,..betul nggak .gila sama wajah sendiri aja pangling apalagi orang lain
Seperti biasa, sesuai pakem, lagi-lagi ketua kelas yang dikerjain. Kali ini saat Iwan shalat Azhar di kamar. Iwan memulai shalatnya, kawan-kawan memulai aksinya dengan menyetel musik dangdut dan berjoget di depan dia, mulai dari goyang patah-patah, goyang ngebor sampai kembang goyang dilakukan. yang joget ya joget yang shalat jalan terus. Nggak mempan!.
Berhenti sampai disitu? Bukan anak badung namanya.
Iwan dibedaki, wajahnya kini seperti buah kesemek atau pemain wayang orang, shalatnya berjalan terus maklum anak ustad.
Masih belum puas Iwan yang lagi shalatpun digotong oleh Edi Bajaj ke luar kamar. Shalatnya berhenti sampai disitu? Bukan anak ustad namanya.
Iwan tetap meneruskan shalatnya sambil berjalan kembali ke sejadahnya, untungnya kamar tidak dikunci kalau nggak dia shalat sambil mengetuk-ngetuk pintu.
Setan penggoda tampaknya sudah kehilangan ide, Iwan berhasil menunaikan shalat Azharnya saudara-saudara. Alhamdulillah.
Melihat kejadian ini malaikat penjaga pasti mau memberi bonus berapa untuk shalat seperti ini, sementara setan-setan tertawa kecil.
“Eh, kok jadi pada mingkem! Takut dibilang setan ya!”.
23 June 2009Azwardi Aziz
Men... gue gak inget itu siapa yang di samping gue... tapi kalo' gak salah temen kita yg jalannya berdua terus sama eddy kumis (bukan Bajaj)... gue lupa namanya...
01 July 2009Iriana Wihardja
Budi kali... yang suka bawa vespa kalo ke smandel.
Syamsi ga bisa diterima sandi negara karena gak tau nama asli kakeknya.
03 July 2009Ahmad Himawan
Makash Ir, jadi jelas nih siapa kalau setan itu ada 2 macam, ada setan Jin ada setan manusia he he he... Yang sebelah Azwardi, masih misterius.....siapa ya ?
Terus yang duduk sebelah Ade, itu siapa ya? Aq kah ? Istri dirumah komen itu gw,..betul nggak .gila sama wajah sendiri aja pangling apalagi orang lain
Hantu Gunung
Seperti biasa sebelum naik gunung kami makan malam bersama di Cibodas di warung nenek Komeng atau di warung ibu Janda. Kali ini giliran nenek Komeng rasanya.
Cerita yang paling populer kala itu adalah hantu gunung yang suka meminjam wajah orang yang naik gunung. Begini detailnya ada seorang pendaki yang turun gunung mampir di warung untuk makan, si penjual bertanya bahwa si pendaki semalam yang makan di warung, tentu saja dia menyangkal karena semalam masih mendaki gunung. Timbullah cerita bahwa ketika si pendaki tidur wajahnya dipinjam hantu gunung untuk berkeliran sebagaimana layaknya manusia.
Kali ini sambil menunggu teman-teman yang berjalan agak lambat, kami beristirahat di Kandang Batu, ada yang berfoto-ria ada juga yang mencoba untuk tidur untuk menghilangkan kepenatan.
Akupun mencoba untuk tidur, tapi teman-teman mengingatkan, entah menakut-nakuti, entah memang perhatian “Men, hati-hati kalau tidur jangan sampe muka lo jadi polos karena dipinjem hantu”.
Yang ada aku jadi nggak bisa tidur karena sebentar-sebentar merabah muka, polos apa nggak? Takut dipinjam hantu gunung. Ngehe!
Cerita yang paling populer kala itu adalah hantu gunung yang suka meminjam wajah orang yang naik gunung. Begini detailnya ada seorang pendaki yang turun gunung mampir di warung untuk makan, si penjual bertanya bahwa si pendaki semalam yang makan di warung, tentu saja dia menyangkal karena semalam masih mendaki gunung. Timbullah cerita bahwa ketika si pendaki tidur wajahnya dipinjam hantu gunung untuk berkeliran sebagaimana layaknya manusia.
Kali ini sambil menunggu teman-teman yang berjalan agak lambat, kami beristirahat di Kandang Batu, ada yang berfoto-ria ada juga yang mencoba untuk tidur untuk menghilangkan kepenatan.
Akupun mencoba untuk tidur, tapi teman-teman mengingatkan, entah menakut-nakuti, entah memang perhatian “Men, hati-hati kalau tidur jangan sampe muka lo jadi polos karena dipinjem hantu”.
Yang ada aku jadi nggak bisa tidur karena sebentar-sebentar merabah muka, polos apa nggak? Takut dipinjam hantu gunung. Ngehe!
Nyari wangsit untuk ulangan Fisika
Setelah terbukti bahwa naik gunung bisa membuat ulangan kimia dapat nilai bagus, kali ini banyak yang mau ikutan naik gunung sambil belajar Fisika dengan maksud supaya ulangan Fisika hasilnya bagus.
Yang gue ingat naik gunung kali ini Aria, Deden, Ady anak mama, Pipin, Agus poncho, Erico keong, pokoknya banyak deh.
Sambil naik gunung mereka belajar semua, mungkin karena grup belajarnya kebanyakan yang ada mereka bukan naik gunung sambil belajar tetapi naik gunung sambil becanda.
Sisa capeknya naik gunung masih terasa, hari Senin harus menghadapi ulangan Fisika pak Ruhanta, dan hasilnya ......................... ancur lebur, yang naik gunung cuma gue yang hasilnya bagus.
Buat yang nggak naik gunung dapat nilai jelek bilang “Tau gitu gue naik gunung”.
Sementara Deden yang naik gunung dapat nilai jelek bilang
“Men, kata lo kalau naik gunung nilainya bagus, ternyata ancur juga tuh”
“Kalau naik gunung nilai Fisika lo jelek jangan salahin gue dong! Tapi ................. salahin gunungnya”
Yang gue ingat naik gunung kali ini Aria, Deden, Ady anak mama, Pipin, Agus poncho, Erico keong, pokoknya banyak deh.
Sambil naik gunung mereka belajar semua, mungkin karena grup belajarnya kebanyakan yang ada mereka bukan naik gunung sambil belajar tetapi naik gunung sambil becanda.
Sisa capeknya naik gunung masih terasa, hari Senin harus menghadapi ulangan Fisika pak Ruhanta, dan hasilnya ......................... ancur lebur, yang naik gunung cuma gue yang hasilnya bagus.
Buat yang nggak naik gunung dapat nilai jelek bilang “Tau gitu gue naik gunung”.
Sementara Deden yang naik gunung dapat nilai jelek bilang
“Men, kata lo kalau naik gunung nilainya bagus, ternyata ancur juga tuh”
“Kalau naik gunung nilai Fisika lo jelek jangan salahin gue dong! Tapi ................. salahin gunungnya”
Subscribe to:
Posts (Atom)