by Darius “the Kill” Purwana ’82
Chormen……
Tulisan ini jadi kado ulang tahun loe…. n sebenernya gue kagak bisa nulis-nulis seperti ini apalagi mem-flash back memory gue yang dulu-dulu tapi karena di Apadela, banyak kenangan manis dan pahit yang gue alamin jd gue coba-coba deh nulis…..
Pertengahan tahun 1980, entah apa garis tanganku aku memperoleh kelas 1 IPA 8 yang lebih banyak diisi oleh anak yang sering nongrong daripada belajar. Selain suka bermain bola disini aku mempunyai kegemaran baru bersama teman sekelas, Sulis, Beny gaok, Hendra pacet, Dedi pastur, Daud, Jidong, dll, yaitu naik gunung dan camping.
Hampir setiap malam minggu kami mendaki gunung, kalau bukan Gede ya Pangrango, supaya tidak bosan berbagai tempat naik dan turun acap dicoba. Berbeda dengan anak kelas 2 IPA 8 yang selalu naik bis uniknya kami selalu menumpak truk dari lampu merah Cililitan, jadi sebelum naik gunung saja sudah penuh dengan perjuangan tapi disitulah suka dan dukanya, sebab tidak semua truk bersedia berhenti untuk kami tumpangi, sabar aja…. Itu kuncinya.
Sabtu siang sehabis pulang sekolah di warung Ete, di belakang sekolah, Gaok mengajak kami merayakan ulang tahunnya di puncak Gede, serta-merta kami menyatakan setuju.
Cililitan sekitar jam 7 an malam, teman yang kusebutkan di atas bersama sahibul bayit, sudah siap ngelivten, bahasa Londo yang diterjemahkan bebas nebeng, walaupun yang ditebengi hanyalah truk…….
Jam 10an kami sudah bertemu dengan tempat bermain kami Cibodas, membenahi perlengkapan dari mulai jaket, ransel, senter dan yang paling utama adalah makanan yang menjadi obat segala rupa, obat lapar yaaah pasti, obat ngantuk .. kalau ngantuk dalam perjalanan yaah makan.
Jam 11 teng mulai mendaki, seperti biasa berdoa dulu untuk keselamatan bersama, meskipun kami punya hobi bercanda tapi kalau soal doa .. yaaa khusuk juga sih. Gaok paling depan dan posisiku di tengah seperti biasa, mulailah kami bernyanyi untuk menghilangkan rasa kantuk yang mulai menyerang, dari lagu yang sedang populer sampai lagu anak-anak yang kalau direkam sih bisa habis tiga pita kaset…
Salah satu cara kami menghilangkan rasa kantuk dan lelah adalah bermain cela celaan, yang biasa menjadi pelengkap penderita adalah Hendra Pacet….. he he he kenapa dinamain Pacet karena emang bibirnya kayak lintah, seperti biasanya dia pasrah menerima kenyataan, kadang juga dia timpali. Cara lain adalah berhalusinasi tukang baso yang menunggu di puncak. Sesekali kami meminta yang di depan untuk melambatkan diri.
Jelang subuh sudah berada di puncak Gede, jaket kesayanganku adidas berwarna merah menemani mengusir dingin sambil mengurut kaki kami masing-masing. Matahari mulai membuka tabir malam mulailah terlihat wajah teman yang kelelahan. Gaok membuka ranselnya yang penuh makanan.
Kini perut kenyang, badan kedinginan, mata mengantuk, di atas ponco kamipun tidur bersama dengan ransel sebagai bantalnya. Tiba-tiba aku terbangun dan terkejut ketika kusadari aku sudah meluncur sekitar 3 meter dari tempat semula ke arah jurang diiringi derai tawa teman-teman, sepotong ranting menghentikan lajuku. Aku kembali ke atas dibantu mereka.
Rupanya aku tidur di tepi jurang, begitu mengantuknya sehingga tidak kuperhatikan. Kalau tidak ada ranting pohon itu mungkin aku sudah lewat, rasa deg degan terus bergema di dada, aku bersujud syukur masih diberi kesempatan oleh Allah SWT.
Jam 9 an turun gunung, dengan membawa edelweiss untuk koleksi yang sebetulnya dilarang. Perjalanan paling menyenangkan karena terus menurun, terkadang berlari, jatuh-bangun.. wah pokoknya seneng banget…
Tanpa terasa sudah sampai Cibodas untuk naik truk lagi, di Cililitan kami berpisah Gaok balik ke Tebet, Sulis ke Kayumanis, Pacet ke Klender, Pastur ke Pasar Minggu, Daud ke Manggarai … di perjalanan pulang aku merenungi kejadian subuh tadi, kalau nggak ada ranting… mungkin aku sudah LEWAT dan bukan aku yang menulis cerita ini.