Namun ketika kaki menginjakan puncak tangis berubah menjadi keceriaan, terlebih di alun-alun Surya Kencana tempat Edelweis bermekaran.
Sang tangis muncul kembali selepas meninggalkan Surya Kencana sampai keluar hutan, kegelisahan bertambah karena kami turun seolah di negeri entah berantah. Suara orang mengaji memberi semangat, mesjid pasti, sampai ke sumber ternyata 2 pendaki yang juga kesasar, diperparah dengan anak baru yang mogok jalan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjho1mu-9BESIn0-VlWRfznoqGxEgRyZAm09VoYs8xjwjJpxmNMgaUzQqRXkOmrbGPdOV0bMAEW0nsVYIoch6ksFW-FTD9hZBsVhrRREVs8ZRoItLfzIV1uSbmiXYuvHKJ9amTJ3ZouaOM/s400/Apadela+Cibodas+1.jpg)
Kami terpaksa membuka 2 bivak sementara 2 pendaki kesasar dan seorang rekan mencari bantuan. Setan alas apa yang merasuki sampai di perumahan penduduk 2 pendaki langsung pulang dan rekan kami asyik tidur di ranjang.
Di tepi hutan kami kehabisan makanan, minuman, batere, jadilah malam itu kami kelaparan, kehausan dan kelaparan.
Dinginnya malam semakin mencekam kala longlongan srigala hutan terdengar garang, cuacapun tak mau kompromi hujan deras melengkapi udara dingin yang membekukan kaki, ketika kutekuk lurus sendiri. Tidak tidur kami pasti, sementara si anak manja tidur nyenyak sendiri.
Saat aku kehausan Boni menyodorkan verplesnya, kurasakan kesegaran air hujan yang ditampungnya.
Bada subuh serombongan penduduk datang mencari bersama temanku yang semalaman tidur di rumah penduduk. Ternyata jarak ke perumahan penduduk dekat sekali. Jadilah hari Senin kami semua bolos sehari.
Umpatan kapoknya naik gunung tidak henti, anehnya semakin mengumpat kecintaan kami mendaki gunung semakin menjadi.
No comments:
Post a Comment